Kamis, 19 Juli 2012

MENCARI TITIK TEMU AWAL RAMADHAN


KH Ghazalie Masroeri
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU

NU Online. Penentuan awal Ramadlan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah di negara-negara muslim selain Indonesia tidak mengalami permasalahan. Penentuannya diitsbatkan oleh Negara (Malik, Sulthon, Amir, dan lain-lain), kemudian umat Islam mengkutinya. Itsbat itu diterbitkan atas dasar pada rukyah, meskipun ilmu hisab berkembang.

Lain halnya di Indonesia. Penentuan awal Ramadlan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah di Indonesia diitsbatkan oleh Menteri Agama RI dalam sidang itsbat yang dihadiri oleh Ormas-Ormas Islam. Setelah mendengar pandangan peserta sidang, kemudian Menteri Agama RI menerbitkan itsbat berdasarkan rukyah dan hisab sesuai dengan rekomendasi MUI yang diputuskan dalam ijtima’ ulama’ komisi fatwa MUI dan Ormas-Ormas Islam se Indonesia pada tanggal 16 Desember 2003.

Secara formal, itsbat itu berlaku bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Tetapi dalam kenyataan sering terdapat kelompok-kelompok muslim mengambil sikap berbeda dengan itsbat itu. Idealnya, setelah diterbitkan itsbat, maka perbedaan harus sudah selesai, sesuai dengan yang dialami oleh para sahabat pada masa Rasulullah SAW. Riwayat Rib’i bin Hirasy dari salah seorang sahabat Rasulullah SAW bahwa para shahabat berbeda pendapat tentang akhir ramadlan, di tengah-tengah perbedaan itu datanglah dua orang a’robi melaporkan kepada Rasulullah SAW dan bersumpah:

بِاللهِ َلاَهَلَّ اْلهِلاَلُ اَمْسِ عَشِيَّةً ً 
Demi Allah sejatinya hilal telah tampak kemarin sore

Atas dasar laporan dan sumpah (rukyah berkualitas) tersebut, maka Rasulullah saw mengitsbatkan hari itu hari Idul Fitri dan memerintahkan para sahabat untuk shalat ‘ied pada keesokan harinya (karena waktu itu sudah dzuhur) (HR. Ahmad dan Abu Daud). Kemudian perbedaan sudah selesai.

Perbedaan terjadi karena adanya perbedaan metode dan perbedaan kriteria dalam menentukan awal bulan.

Ilmu hisab berasal dari India masuk ke dalam kalangan Islam ketika era dinasti Abbasiyah abad 8 Masehi. Dewasa ini lebih dari dua puluh metode hisab berkembang di Indonesia. Antara metode-metode itu terdapat perbedaan, terutama antara metode taqribi dengan metode tahqiqi/tadqiqi/’ashri. Dan adanya perbedaan tentang kriteria awal bulan yaitu perbedaan antara kriteria wujudul hilal dengan kriteria imkanur rukyah. Perbedaan dalam hitungan menit masih dapat diberi toleransi, tetapi ketika perbedaan dalam hitungan derajat dan hari maka menimbulkan persoalan serius, seperti adanya perbedaan hitungan hisab taqribi dengan hitungan hisab tahqiqi/tadqiqi/’ashry tentang Idul Fitri 2011 M.

Perbedaan hitungan hisab yang menimbulkan persoalan serius ini mengundang adanya perselisihan mengenai kedudukan hisab di samping rukyah. Apakah hisab berfungsi sebagai instrumen pendukung dan pemandu rukyah; ataukah hisab dapat menggantikan rukyah.

Dalam pada itu, terdapat kelompok-kelompok kecil di luar Ormas-Ormas Islam yang menentukan awal Ramadlan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah menurut urfi masing-masing.

Sesungguhnya semua sistem penentuan awal bulan mempunyai kesaaman yaitu bahwa adanya hilal sebagai tanda datangnya awal bulan baru. Yang menjadi masalah ialah, adanya perbedaan mengenai kriteria hilal. Untuk itu kita perlu mengetahui definisi hilal secara bahasa, syar’i dan sains.

Hilal Menurut Bahasa

Hilal dalam Bahasa Arab adalah sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal yaitu ha-lam-lam (ﻫ - ل - ل), sama dengan asal terbentuknya fi’il (kata kerja) هَلَّ dan tashrifnya اَهَلَّ. Hilal (jamaknya ahillah) artinya bulan sabit, suatu nama bagi cahaya bulan yang tampak seperti sabit. هَلَّ dan اَهَلَّ dalam konteks hilal mempunyai arti bervariasi sesuai dengan kata lain yang mendampinginya yang membentuk isthilahi (idiom). Bangsa Arab sering mengucapkan:

هَلَّ الِْهَلاَلُ dan اَهَلَّ اْلهِلاَلُ artinya bulan sabit tampak.
هَلَّ الرَّجُلُ artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
اَهَلَّ الْقَوْمُ الْهِلاَلَ  artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
هَلَّ الشَّهْرُ artinya bulan (baru) mulai dengan tampaknya bulan sabit.

Jadi menurut Bahasa Arab, hilal adalah bulan sabit yang tampak pada awal bulan dan dapat dilihat. Kebiasaan orang Arab berteriak kegirangan ketika melihat hilal.

Hilal Menurut al-Qur’an

Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 189 mengemukakan pertanyaan para sahabat kepada Nabi SAW tentang ahillah (jamak dari hilal):

يَسْأَلونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ  ...

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…””

Ayat ini menunjukkan bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi kehidupan manusia dan ibadah, termasuk ibadah haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.

Para mufassir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid I halaman 84 mengemukakan sebuah riwayat dari Abu Na’im dan Ibnu ‘Asakir dari Abi Sholih dan Ibnu Abbas menceritakan:


اِنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ وَثَعْلَبَةَ بْنَ غُنَيْمَةٍ قَالاَ: يَارَسُوْلَ اللهِ, مَا بَالُ الْهِلاَلِ يَبْدُوْ دَقِيْقًا مِثْلَ الْخَيْطِ ثُمَّ يَزِيْدُ حَتَّى يَعْظُمَ وَيَسْتَوِىَ وَيَسْتَدِيْرَ, ثُمَّ لاَ يَزَالُ يَنْقُصُ وَيَدُقُّ حَتَّى يَعُوْدَ كَمَا كَانَ, لاَ يَكُوْنُ عَلَى حَالٍ فَنَزَلَتِ اْلاٰيَة 

Sesungguhnya Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah bertanya: “Ya Rasulallah, mengapa keadaan hilal itu tampak lembut cahayanya laksana benang, selanjutnya bertambah sehingga membesar, merata dan bundar, dan kemudian berangsur-angsur menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula, tidak dalam satu bentuk?” Maka turunlah ayat ini.”

Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatuttafasir juz I halaman 125 mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut:

يَسْأَلُوْنَكَ يَامُحَمَّدْ عَنِ الْهِلاَلِ لِمَ يَبْدُوْ دَقِيْقًا مِثْلَ الْخَيْطِ ثُمَّ يَعْظُمُ وَيَسْتَدِيْرُ ثُمَّ يَنْقُصُ وَيَدُقُّ حَتىَّ يَعُوْدَ كَمَا كَانَ؟

Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?”

Dalam pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya fii Zhilalilqur’an juz I halaman 256 menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

فَهُمْ يَسْأَلُوْنَ عَن اْلاَهِلَّةِ ... مَا شَأْنُهَا؟ مَا باَلُُ الْقَمَرِ يَبْدُوْ هِلاَلاً ثُمَّ يَكْبُرُ حَتىَّ يَسْتَدِيْرَ بَدْرًا ثُمَّ يَأْخُذُ فِى التَّنَاقُصِ حَتَّى يَرْتَدَّ هِلاَلاً ثُمَّ يَخْتَفِى لِيُظْهِرَ هِلاَلاً مِنْ جَدِيْدٍ؟


“Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya menampakkan hilal dari (bulan) baru?

Al-Maraghi dalam tafsirnya jilid 4 hal 67 menafsirkan ayat …وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ (QS Yunus : 5) sebagai berikut:


وَقَدَّرَ سَيْرَ اْلقَمَرِ فِىْ فَلَكِهِ مَنَازِلَ يَنْزِلُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى وَاحِدٍ مِنْهَا لاَ يُجَاوِزُهَا وَلاَ يَقْصُرُ دُوْنَهَا وَهِيَ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُوْنَ يُرَى الْقَمَرُ فِيْهَا بِاْلاَبْصَارِ , وَلَيْلَةٌ اَوْ لَيْلَتَانِ يُحْتَجَبُ فِيْهِمَا فَلاَ يُرَى .
Allah menetapkan perjalanan bulan pada orbitnya beberapa manzilah; setiap malam menempati satu manzilah; tidak akan melampaui dan tidak berkurang dari padanya. Adapun manzilah-manzilah itu ialah 28 manzilah yang di dalamnya bulan terlihat oleh mata, dan 1 malam atau 2 malam bulan tertutup, maka tidak dapat dilihat.”

Penafsiran ini mengisyaratkan bahwa dari observasi bulan al-Maraghi berkesimpulan:

Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal yang dapat dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam).

27 manzilah berikutnya, yakni tanggal 2 sampai dengan 28, bulan dapat dilihat dengan mata.

Manzilah ke-29 atau ke-30, bulan tidak dapat dilihat dengan mata.

Penafsiran yang sama juga dilakukan al-Maroghi terhadap surat Yasin ayat 39.

Jelaslah menurut ayat-ayat Al-Qur’an dan tafsirnya tersebut, bahwa hilal atau bulan sabit itu pasti tampak terlihat.

Hilal Menurut as-Sunnah

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari Rib’i bin Hirasy dari salah seorang sahabat Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan di depan :

بِاللهِ لَاَهَلَّ اْلهِلاَلُ اَمْسِ عَشِيَّةً  

Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore

Hadits ini menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam hadits-hadits yang lain seperti hadits Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunaimah tersebut di atas:

يَارَسُوْلَ اللهِ, مَا بَالُ الْهِلاَلِ يَبْدُوْ دَقِيْقًا مِثْلَ الْخَيْطِ …

(Artinya : “Ya Rasulallah, mengapa keadaan hilal itu tampak lembut cahayanya laksana benang”)

Hilal Menurut Sains

Hilal atau bulan sabit atau dalam istilah astronomi disebut crescent adalah bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah terjadinya ijtima’ atau konjungsi.

Dari tinjauan bahasa, Al-Qur’an/tafsir, As-Sunnah dan tinjauan sains sebagaimana diutarakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hilal adalah bulan sabit yang cahayanya lembut laksana benang yang tampak dan terlihat dari bumi dengan mata di awal bulan, sesaat setelah terbenamnya matahari di hari telah terjadinya ijtima’ atau konjungsi, sebagai tanda datangnya bulan baru.

Kalau tidak tampak tidak disebut hilal. Hilal tidak hanya dalam angan-angan/pemikiran; dan tidak hanya dalam dugaan/keyakinan. Untuk mengetahui adanya penampakan hilal (ظُهُوْرُ الْهِلاَل), diperlukan upaya-upaya observasi, pengamatan, atau rukyah di lapangan.

 Awal bulan ditandai dengan penampakan hilal yang dapat dilihat dengan mata di awal malam (sesaat setelah matahari terbenam). Kalau tidak tampak tidak disebut hilal. Hilal tidak hanya dalam angan-angan/pemikiran; dan tidak hanya dalam dugaan/keyakinan. Untuk mengetahui adanya penampakan hilal (ظُهُوْرُ الْهِلاَل), diperlukan upaya-upaya observasi, pengamatan, atau rukyah di lapangan.

Rukyah adalah sepatah kata isim berbentuk masdar, mempunyai fi’il ro-aa – yaroo (رَأَى - يَرَى). Kata رَأَى dan tashrifnya mempunyai banyak arti, antara lain: melihat, mengerti, mengetahui, memperhatikan, berpendapat, menduga, yakin, dan bermimpi.

Ketika kata ro-aa (رَأَى) dan tashrifnya dirangkaikan dengan objek / maf’ul bih (مَفْعُوْلٌ بِهِ) yang fisikal / thobii’iyyaat (طَبِيْعِيَّات) maka masdarnya adalah rukyah (رُؤْيَة); dan mempunyai arti tunggal yaitu “melihat dengan mata kepala”, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat pembesar. Contoh :
رَأَى كَوْكَبًا – رُؤْيَةُ كَوْكَبٍٍ : Melihat Bintang
رَأَى اْلقَمَرَ – رُؤْيَةُ الْقَمَرِ : Melihat Bulan
رَأَى الشَّمْسَ – رُؤْيَةُ الشَّمْسِ : Melihat Matahari
رَأَى الْهِلاَلَ – رُؤْيَةُ الْهِلاَلِ   : Melihat Hilal.   لِرُؤْيَتِهِ(Karena Melihat Hilal)

Baca Surat Al-an’am ayat 76 s/d 78 untuk contoh 1, 2, dan 3. Dan baca berbagai As-Sunnah untuk contoh no. 4.

Sedangkan ro-aa (رَأَى) yang mempunyai arti lain, objeknya tidak fisikal (غَيْرُ طَبِيْعِيَّات). Adakalanya tanpa objek dan masdarnya bukan Rukyatun, tetapi ro’yun (رَأْيٌ). Ketika ro-aa mempunyai dua maf’ul bih (objek), maka mempunyai arti menduga atau yakin. Dan adakalanya bermakna mimpi, masdarnya ru’ya (الرُؤْيَا).

Rukyah sebagai sistem penentuan awal bulan qomariyah dengan cara melakukan pengamatan/observasi terhadap penampakan hilal di lapangan, baik dengan mata telanjang maupun dengan menggunakan alat seperti teropong, pada hari ke 29 malam ke-30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar Rukyatul hilal. Tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu adalah tanggal 30 dari bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar Istikmal (menggenapkan 30 hari bagi bulan sebelumnya).

Ada pendapat bahwa rukyah itu hanya berlaku bagi masyarakat ummi/awam yang tidak mengetahui ilmu hisab, tetapi bagi masyarakat modern cukup dengan ilmu hisab tidak perlu rukyah. Pendapat ini mendasarkan pada hadits : 


اِنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا (متفق عليه). قَالَ اْلبُخََارِيُّ : يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ 
Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung (menghisab). Umur bulan itu sekian dan sekian,”  (HR. Muttafaq ‘alaih). “Menurut al-Bukhari “sekian dan sekian” ialah “kadang 29 hari dan kadang 30 hari.””

Pendapat demikian ini menunjukkan adanya pemahaman terhadap hadits tersebut secara hitam putih. Padahal sesungguhnya di balik hadits ini terdapat hikmah yang mendalam, yaitu:

Sifat keummian itu justru menunjukkan secara yakin tentang otentitas ad-dinul islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas dasar hasil pemikiran.

Hadits itu mengajarkan, bahwa  usia bulan Qomariyyah kadang 29 hari dan kadang 30 hari, berbeda dengan umur bulan syamsiyah.

Nabi saw. mengajarkan rukyah sebagai kemudahan untuk umatnya.

Rukyah mempunyai nilai ibadah jika hasilnya digunakan untuk pelaksanaan ibadah seperti shiyam, ‘id, sholat gerhana, dan lain-lain.

Rukyah, pengamatan dan observasi benda-benda langit seperti letak matahari terbenam, posisi dan tinggi hilal, dan jarak antara hilal dan matahari dapat menambah kekuatan iman.

Rukyah itu ilmiah. Rukyah, pengamatan dan observasi benda-benda langit ribuan tahun lamanya dicatat dan dirumuskan, kemudian lahirlah ilmu astronomi dan ilmu hisab. Rukyah melahirkan hisab. Tanpa rukyah tak ada hisab.

Pendapat yang mengatakan tidak perlu rukyah tetapi cukup hisab tersebut, sesungguhnya   belum dapat memberi jalan keluar atas terjadinya perbedaan pada metode dan kriteria hisab. Metode dan kriteria hisab mana yang harus digunakan?

Pendapat yang mengatakan cukup dengan ilmu hisab, tidak sejalan dengan nash Mafhuumul ayat S. Al-baqarah a.185 dan a.189, Yunus a.5, dan Yasin a.39

Hadits-hadits

Tidak kurang dari 23 hadits tentang rukyah diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan lain-lain.

Rukyah dan hisab tidak perlu dipertentangkan. Keduanya dapat digunakan bersamaan. Rukyah sebagai penentu dan hisab sebagai pendukung. Hisab yang berkualitas tahqiqi/tadqiqi/’ashri dan memenuhi kriteria imkanurrukyah dapat dijadikan sebagai pendukung, pemandu, dan pengontrol rukyah, sehingga menghasilkan rukyah yang berkualitas. Sebaliknya, rukyah dapat dijadikan sebagai sarana uji verifikasi atas hipotesis hisab.

Kriteria imkanurrukyah itu, secara empirik memenuhi ketentuan tinggi hilal 2 derajat, umur bulan 8 jam / jarak antara Matahari dan Bulan 3 derajat. Kriteria inipun sudah disepakati untuk kriteria Taqwim dan kriteria rukyah oleh Ormas-Ormas Islam dalam Lokakarya Hisab Rukyah yang diselenggarakan oleh Sub Direktorat Hisab Rukyah dan Pembinaan Syari’ah Kemenag RI, di Cisarua tahun 2011, yang kemudian disempurnakan dalam Lokakarya di Semarang tahun itu juga. Kriteria imkanurrukyah ini bukan dimaksudkan untuk mengganti rukyah, tetapi sebagai instrumen untuk menolak apabila ada laporan terlihatnya hilal ketika mayoritas ahli hisab menyatakan bahwa hilal pada hari itu belum imkanurrukyah.

Dari seluruh paparan tersebut, diharapkan dapat menjadi masukan dalam rangka mencari titik temu atas perbedaan yang serba majmu’ dalam menentukan awal Ramadlan, awal Syawal, dan awal  Dzulhijjah.



* Makalah disampaikan dalam acara Mudzakarah di Aula TK Islam Al-Azhar lt.II Kampus Al-Azhar Kebayoran Baru, Senin 2 Juli 2012, yang dipanel dengan Prof. DR. Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN), dan Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Moderator : Dr. HM. Hartono, MM (Ka. Sekretariat Masjid Agung Al Azhar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar